02 Maret, 2010

LAMPIRAN SIARAN PERS LBH Oi (23 Februari 2010)

(1) Kronologi Kasus.
(2) Profile LBH Oi.

KRONOLOGI KASUS

Semula PELAKU adalah mitra kerja KORBAN pada sebuah perusahaan asuransi sejak awal tahun 2006. Selain menekuni bisnis asuransi, pelaku juga rajin mengikuti training-training hipnoterapi yang diselenggarakan di dalam negeri, maupun di luar negeri, di antaranya Amerika Serikat dan Singapura.

Setelah menguasai tehnik hipnoterapi dan mendapatkan banyak sertifikat training, pelaku mulai menjalani dan menekuni profesi sebagai hipnoterapis, dengan membuka kelas-kelas training hipnoterapis kepada masyarakat umum. Pelaku juga terdaftar sebagai anggota Indonesian Board of Hypnotherapist (IBH), sebuah organisasi profesi para hypnoterapis di Indonesia.

Sementara itu, meski sudah menekuni profesi hypnoterapis, pelaku tetap menjalani bisnis asuransi, dan oleh karenanya sering berkomunikasi dengan korban sebagai mitra kerjanya.

Suatu waktu di bulan September 2006, sepulang dari kegiatan di Bogor, korban mengalami keadaan depresi dan stress akibat persoalan pribadi yang sedang dihadapi. Pelaku kemudian menawarkan diri untuk menterapi korban guna membantu menghilangkan depresi korban. Korban pun mengizinkan untuk diterapi. Namun selama terapi tersebut, korban justru menjadi bertambah sakit kepala. Dikarenakan pelaku mengucapkan kalimat-kalimat sugesti dengan membuat cerita-cerita yang membuat korban semakin tambah tertekan.

Pada hari Minggu, 24 September 2006, korban berada di Jogyakarta dalam rangka untuk kordinasi kerja dengan mitra kerja korban yang lain di perusahaan asuransi. Selama di Jogyakarta, korban menginap di rumah salah satu mitra kerjanya.

Pada saat yang sama, pelaku juga lebih dulu berada di Jogyakarta selama 2 hari dalam rangka untuk mengajar kelas training Hipnoterapi di salah satu ruang family room di Hotel Puri Artha, Jl. Cendrawasih 36 Demangan – Yogyakarta. Di hotel tersebut, juga menjadi tempat menginap pelaku selama di Jogyakarta.

Pada sore hari menjelang malam, korban dihubungi pelaku dan diminta datang oleh pelaku ke hotel tempat pelaku menginap dan mengajar kelas hipnoterapist, yakni Hotel Puri Artha di Jl. Cendrawasih, untuk membawakan barang pesanan pelaku. Sebelumnya, pada saat korban masih di Jakarta, pelaku menghubungi korban untuk minta dibawakan barang titipannya.

Sesampai di Hotel Puri Artha, korban melihat seorang pemilik Hotel yang juga teman pelaku sedang dipijat repleksi oleh seorang pemijat di dalam ruangan kamar (berbentuk pavilyun) yang disewa oleh Pelaku. Korban pun kemudian tertarik untuk turut dipijat repleksi. Hingga akhirnya korban kemudian dipijat oleh seorang pemijat repleksi di dalam ruangan kamar hotel tersebut.

Proses pemijatan berlangsung cukup lama, sehingga akhirnya tanpa sadar korban tertidur lelap. Dan ketika tersadar dari tidurnya, korban mendapatkan dirinya hanya berdua di dalam ruangan kamar hotel tersebut bersama dengan pelaku. Adapun seorang pemilik hotel dan si pemijat, yang sebelumnya ada bersama-sama dengan korban di dalam kamar tersebut, ternyata  sudah tak ada lagi di kamar.

Dalam situasi itu, pelaku mengajak bicara korban. Yang intinya pelaku mengatakan kepada korban, bahwa korban sedang mengalami banyak persoalan psyikologis yang sangat berat. Dan pelaku pun kemudian meyakinkan korban, bahwa pelaku dapat menyembuhkan dan memulihkan kondisi psyikis korban melalui tehnik hipnoterapi dalam Budha yang disebutnya dengan istilah terapi “Karma menjadi Dhamma”.

Atas apa yang dikatakan oleh Pelaku tersebut, korban merasa bahwa apa yang dikatakan oleh pelaku adalah benar. Karena korban saat itu merasa memang sedang dalam keadaan depresi, akibat mengalami banyak tekanan psyikis atas banyak persoalan yang sedang dihadapinya.

Pelaku terus mengucapkan kalimat-kalimat yang menyatakan dan meyakinkan kepada korban bahwa pelaku adalah seorang hipnoterapist yang sudah bersertifikat dan dapat dipercaya untuk memegang teguh kode etik hipnoterapist, dan membuat korban akhirnya mengizinkan pelaku melakukan hipnoterapi kepada korban.

Pelaku pun kemudian memulai aksi hipnoterapi yang dinamakannya “Karma Menjadi Dhamma” dengan cara menyentuh pundak kiri korban, lalu ulu hati, punggung, dan seterusnya. Akibat sentuhan tersebut, korban menjadi tidak berdaya dan mengakibatkan kesadaran korban sepenuhnya di bawah kendali / pengaruh pelaku. Selanjutnya pelaku terus menerus memberikan sugesti kepada korban, bahwa pelaku adalah suami korban di masa lalu yang saat ini hadir kembali di hadapan korbandan tahap demi tahap korban melakukan aksi  “pencabulan” dan “pemerkosaan” kepada korban, tanpa korban konsen atas apa yang sedang dilakukan oleh pelaku kepadanya.

Setelah kejadian tersebut, korban kembali ke Jakarta dengan kondisi pikiran korban selalu di bawah pengaruh kendali pelaku. Di mana pelaku selalu menghubungi korban via telepon dan selalu memberikan sugesti-sugesti yang semakin membuat korban dalam pengaruh pelaku. Dan akhirnya dengan mudah pelaku dua kali membawa dan mengajak korban menginap di sebuah Hotel kawasan Raden Saleh - Jakarta, dan kawasan Sabang, yang selanjutnya kembali pelaku melakukan pencabulan dan “pemerkosaan” terhadap korban.

Akibat dari perbuatan pelaku “mencabuli” dan “memperkosa” korban yang disertai dengan sugesti-sugesti hypnosis pelaku kepada korban telah membuat kejiwaan korban dalam keadaan tidak stabil. Korban selalu berteriak dan menjerit-jerit tak sadarkan diri. Badan sering terkena demam. Terkadang tidak dapat mengenali orang-orang terdekatnya. Bahkan korban kehilangan daya ingatnya untuk merekam kejadian-kejadian di masa lalu. Kondisi di atas dialami oleh korban selama hampir 1 tahun. Dalam masa itu korban telah menempuh berbagai terapi pemulihan kepada pakar-pakar hypnoterapist dan ahli penyembuh (healer) di Indonesia. Dan baru setelah 1 tahun kemudian keadaan korban mulai pulih kembali.

Perbuatan yang dilakukan oleh pelaku terhadap korban, diduga kuat menggunakan tehnik hypnotherapi. Sampai saat ini pelaku masih berpraktik bebas membuka kelas-kelas training hipnoterapi kepada masyarakat umum.

Pada sekitar bulan Februari 2008, setelah kondisi korban pulih, korban menemui tim LBH Oi, dan meminta bantuan hukum kepada LBH Oi untuk menangani penyelesaian kasusnya.

Tim LBH Oi sudah melakukan langkah-langkah advokasi berupa:
a. Mengirimkan surat permintaan klarifikasi kepada pelaku, namun tidak mendapat tanggapan dari pelaku.

b. Mengundang pelaku untuk bertemu guna memberikan klarifikasi dan menyelesaikan masalah secara bermartabat, namun ternyata pelaku tidak datang memenuhi undangan.

c.  Mengirimkan surat kepada pihak-pihak yang terkait dalam kapasitas pelaku sebagai hypnoterapist bersertifikat, namun juga tidak mendapatkan tanggapan.

d. Mengirimkan surat pengaduan kepada organisasi profesi hypnoterapist untuk meminta pertanggungjawaban profesi pelaku, namun tidaj juga juga ada tanggapan.

e. Mendatangi Markas Kepolisian Daerah DI Jogyakarta guna membuat laporan, namun ditolak. (Saat itu datang ke Polda DIY, karena korban belum dapat mengingat kejadian di Jakarta secara detil).

f.  Menghubungi pakar-pakar hypnoterapi untuk meminta bantuan mencari penyelesaian kasus ini secara bermartabat, namun juga belum mendapat tanggapan yang serius.


PROFILE LBH Oi

LBH Oi berdiri sejak Agustus 2007, didirikan oleh para aktivis bantuan hukum atas dasar mandat dari Ketua Badan Pengurus Pusat (BPP) Oi 2006-2010, Sdr. Digo Dudi Zulkifli.

Didirikannya LBH Oi dilatari oleh harapan agar ormas Oi turut andil terlibat dalam rangka memperjuangkan pembaruan dan penegakan hukum yang sejalan dengan nilai-nilai Hak Asasi Manusia dan Demokrasi.

Oi adalah ormas pemuda yang didirikan oleh Iwan Fals dan beserta para penggemarnya pada tahun 1999. Oi didirikan dalam rangka untuk menjadi wadah kreativitas dan cita-cita perjuangan para pemuda yang berlatarbelakang sebagai penggemar Iwan Fals. Anggota Oi sedikitnya tercatat 10.000 orang di seluruh Indonesia.

Untuk pertama kali ditunjuk sebagai Koordinator LBH Oi adalah Irfan Fahmi Elkindy yang merupakan advokat anggota Peradi dan pernah menjadi advokat publik di Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) Nasional pada 2004-2008.

24 Februari, 2010

Siaran Pers LBH Oi - Korban Pelecehan Seksual Hipnoterapi Mengadu ke Komnas Perempuan







SIARAN PERS

LEMBAGA BANTUAN HUKUM (LBH) Oi

Tentang :
PEREMPUAN KORBAN PELECEHAN SEKSUAL OLEH OKNUM HIPNOTERAPIS
MENGADU KE KOMNAS PEREMPUAN PADA JUM’AT LALU (19/2/2010)


Jakarta, 23 Februari 2010

Mencuatnya kasus pelecehan seksual Anand Krishna dengan tehnik hipnoterapi yang dilaporkan oleh para muridnya kepada publik akhir-akhir ini, telah mendorong kami bersama dengan Klien kami seorang perempuan korban pelecehan seksual berinisial (T), mendatangi Komnas Perempuan pada hari Jum’at lalu (19/02/2010), guna melaporkan kasus yang dialami oleh klien kami, yaitu kasus korban pelecehan seksual dengan tehnik hipnoterapi yang pelakunya seorang praktisi hipnoterapis berinisial (JW).


Kasus yang menimpa klien kami terjadi pada kurun waktu September – Oktober 2006. Tepatnya terjadi tiga kali, yang pertama terjadi pada tanggal 24 September 2006 di Yogyakarta, kedua dan ketiga terjadi di Jakarta (kronologi terlampir).

Kasus ini kami tangani sejak Februari 2008. Selama waktu tersebut sampai saat ini, kami sudah berupaya keras agar kasus ini dapat diproses secara hukum, namun ternyata hukum materiil & acara pidana Indonesia saat ini belum compatible mengadili kasus-kasus pelecehan seksual dengan modus hipnoterapi. Kami juga sudah mencoba menempuh upaya non hukum, yaitu meminta kepada komunitas/organisasi profesi hypnoterapis guna mengusut dan meminta pertanggungjawaban etika profesi pelaku sebagai hipnoterapis, namun tidak didapat tanggapan dari komunitas/organisasi profesi hipnoterapis.

Kami berharap dengan diadukannya kasus ini kepada Komnas Perempuan, dapat menjadi catatan penting bagi Komnas Perempuan untuk melakukan advokasi kebijakan dan mendorong reformasi hukum untuk menangkal dan menyelesaikan kasus-kasus pelecehan seksual dengan tehnik hipnoterapis yang sampai saat ini masih menjadi kejahatan yang tak mampu dijangkau oleh hukum, sehingga membuat para pelaku pelecehan seksual bebas berkeliaran tanpa hukuman (impunity).

Maksud pengaduan tersebut dan siaran pers ini, semata-mata untuk menjadi perhatian dan menambah kewaspadaan publik terhadap praktik hipnoterapi yang marak di tengah masyarakat. Sehingga masyarakat lebih berhati-hati dan tidak menjadi korban dari praktik hipnoterapi yang menyimpang yang kerugiannya bukan hanya secara fisik, melainkan juga dapat menyebabkan gangguan psikis seperti yang dialami klien kami.

Saat ini korban telah bangkit dari kondisi traumatik akibat atas kejadian masa lalunya yang sulit untuk dilupakannya. Dan berangsur-angsur aktivitas korban mulai kembali normal.

Kami percaya, bahwa Hipnoterapi sebagai sebuah perpaduan antara tehnik hypnosis dan terapi memiliki manfaat positif membantu kehidupan manusia untuk sehat secara fisik dan psikis. Namun tanpa pengawasan dan pengaturan yang ketat, hipnoterapi rawan disalahgunakan untuk tujuan-tujuan yang bertentangan dengan norma agama, susila dan hukum.

Oleh karenanya, kami mendesak kepada pemerintah untuk tidak tinggal diam, dan harus bertindak untuk mencegah dan menyelesaikan kasus pelecehan seksual dengan tehnik hipnoterapis yang saat ini sedang marak, dengan membuat suatu regulasi yang dapat melindungi warga negara dari ancaman kejahatan-kejahatan asusila dengan tehnik-tehnik hipnoterapi atau hipnosis.

Demikian siaran pers ini kami sampaikan. Atas perhatiannya diucapkan terimakasih.

Hormat kami

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Oi



ttd

Irfan Fahmi Elkindy, SH.
Koordinator



--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Contact Person:
Irfan F Elkindy :
0815-9023-416 & 021-9293-5514 (Phone)


Lihat Lampiran Kronologi (Klik Disini)

27 Oktober, 2008

Kala Saksi Berkonsultasi dengan PH Terdakwa di Ruang Sidang

Ada yang unik dari sidang siang tadi di PN Jakarta Barat. Ini adalah pengalaman kali pertama saya selama menjadi Advokat dan beracara di dalam sidang perkara pidana. Seorang yang sedang diperiksa sebagai saksi di dalam persidangan perkara pidana, diizinkan oleh Hakim untuk bertanya secara berbisik-bisik kepada penasehat hukum terdakwa.

Buat saya kejadian ini sungguh lucu. Kok bisa hal itu terjadi. Padahal tindakan seperti itu sudah dapat dikategorikan sebagai tindakan mempengaruhi saksi, yang tentunya dapat membuat saksi tidak bisa memberikan keterangannya secara bebas, dan mandiri.

Awal kejadian ini bermula saat seorang perempuan usia 40an tahun diperiksa sebagai saksi dari pihak Penuntut Umum (PU). Saksi ini adalah rekan sekerja terdakwa. Dalam pemeriksaannya, ternyata saksi kebingungan memahami pertanyaan-pertanyaan dari PU yang mengkroscek jawaban saksi di dalam BAP. Karena terdesak kebingungan dengan pertanyaan-pertanyaan PU, saksi minta izin kepada Hakim untuk bertanya kepada tim PH terdakwa. Anehnya Hakim mengizinkan. Dan kemudian secara berbisik-bisik saksi kepada salah seorang PH Terdakwa. Bukan dengan saya, melainkan dengan rekan saya.

Saya memilih untuk tidak terlibat dalam percakapan tersebut. Karena saya khawatir tindakan bercakap-cakap secara berbisik-bisik antara saksi dengan PH terdakwa di hadapan Hakim dalam persidangan merupakan tindakan pelanggaran kode etik advokat.

Pasal 7 hurup e Kode Etik Advokat, yang menyatakan bahwa “Advokat tidak dibenarkan mengajari dan atau mempengaruhi saksi-saksi yang diajukan oleh pihak lawan dalam perkara perdata atau oleh jaksa penuntut umum dalam perkara pidana.”

Meski hakim mengizinkan, namun saya tetap memilih untuk tidak memanfaatkan izin hakim tersebut.

02 Oktober, 2008

Selamat Merayakan Hari Kemenangan

met idul fitri

30 September, 2008

Contoh Surat Kuasa dan Gugatan Cerai di Pengadilan Agama

Awal 2008 lalu, saya membantu mendampingi salah seorang kakaknya teman saya untuk menggugat cerai suaminya ke Pengadilan Agama. Awalnya saya ragu saat dimintai bantuan untuk mendampingi. Karena maklum, saya belum punya jam terbang beracara di Pengadilan Agama. Tetapi karena keinginan kuat untuk terus belajar dan belajar dari banyak pengalaman, akhirnya saya penuhi permintaannya.

Dan akhirnya, gugatan cerai itu pun dikabulkan seluruhnya oleh Hakim Pengadilan Agama. Padahal sewaktu menyusun gugatannya tidaklah mudah. Ada banyak hal yang saya belum kuasai mengenai hukum acara peradilan agama. Alhamdulillah berkat ketekunan, dan ketelitian saya, prosesnya dapat saya lalui dengan mudah.

Kini saya ingin berbagi buat orang lain yang ingin mengajukan gugatan cerai di pengadilan agama. Semoga bermanfaat. Kata guru ngaji saya, ilmu kita tidak akan habis kalau kita membaginya kepada orang lain. Berbagi ilmu itu pasti ada barokahnya. Hehe..

Nah berikut ini adalah contoh Gugatan Cerai dan berikut Surat Kuasa Khususnya.

Silahkan didownload:
  1. Contoh Gugatan Cerai.
  2. Contoh Surat Kuasa Khusus.
Mungkin lain kali, saya akan membahas lebih detil secara teoritis mengenai konstruksi gugatan cerai dan surat kuasa khusus. Karena tentunya contoh gugatan dan surat kuasa ini belum lengkap kalau tidak dijelaskan mengapa harus "begini" dan "begitu" nya. :D

29 September, 2008

Tentang Diskriminasi Waria

Tulisan ini dimuat di Tabloid Realita Edisi 19 Februari-04 Maret 2007.

Majunya dua orang waria, Nancy Iskandar (Ketua Forum Waria se DKI Jakarta) dan Yulianus Rettoblaut (Ketua Forum Waria se-Indonesia), dalam bursa pencalonan anggota komisioner Komnas HAM), sudah sepatutnya kita apresiasi.

Sebab, pencalonan dua waria ini adalah wujud perjuangan sekelompok manusia mendapatkan hak atas keadilan. Selama ini, masyarakat dan institusi sosial, seringkali memperlakukan kaum waria secara diskriminatif dan tidak manusiawi. Padahal konstitusi kita telah memberikan perlindungan. Sementara negara, terkesan masa bodoh (violence by ommision). Bahkan belakangan, negara juga turut serta mendiskriminasi melalui regulasi.


Bagaimana status hak-hak waria di dalam hukum positif Indonesia?
Hukum positif kita (konstitusi dan regulasi) memang tak secara spesifik mengatur tentang hak-hak waria. Meski begitu, tak berarti bahwa keberadaan waria tak mendapatkan perlindungan hukum. Sebaliknya dengan tidak diatur, menandakan bahwa di mata hukum, hak dan kewajiban waria adalah sederajat dengan warga negara lainnya. Jadi, tak ada alasan hukum untuk mendiskriminasi waria dalam mendapatkan hak-haknya sebagai warga negara. Waria adalah juga warga negara yang memiliki hak konstitusional.

Dalam UUD 45, konstitusi kita, terdapat beberapa hak warga negara terkait dengan hak asasi manusia. Yaitu pertama, pasal 28D ayat (1) UUD 45 amandemen kedua: “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Kedua, pasal 28D ayat (2) UUD 45 amandemen kedua: “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.” Ketiga, Pasal 28D ayat (3) UUD 45 amandemen kedua: “Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.”

Ketiga hak di atas, adalah salah satu hak warga negara yang mestinya juga dapat dinikmati oleh kaum waria. Namun dalam praktik, umumnya hak itu masih menjadi ‘barang mahal’, alias tak dapat dijamah oleh kaum waria.

Misalnya, kaum waria kerap menjadi korban praktik kekerasan dan pelecehan dalam operasi yang dilakukan aparat Tramtib. Pelecehan dan pengucilan juga dilakukan oleh masyarakat, akibat stigma yang sudah kuat melekat di benak masyarakat. Juga kaum waria seringkali didiskriminasi dalam mengakses lapangan kerja di sektor formal. Baik swasta, maupun pemerintahan (pegawai negeri). Alasan ke-waria-an menjadi alasan utama pelaku usaha menyisihkan kaum waria dari dunia kerja sektor formal. Padahal sebenarnya waria juga sama. Mereka bekerja dengan otak dan tenaganya, dan bukan dengan (maaf) kelaminnya.

Seorang waria yang pernah saya jumpai bercerita. Dirinya pernah mengikuti seleksi sebuah lowongan kerja di bidang administrasi pada sebuah kantor perusahaan swasta. Karena skillnya, seluruh tahapan tes mampu ia lewati dengan baik, sehingga membawanya pada tahap akhir. Tapi nihil nan mengenaskan. Ia tak lolos rekrutmen. Lantaran si penyeleksi mengatakan, “skill kamu sebenarnya sangat bagus, tapi sayang kamu bencong!”. Sungguh ini fakta amat mengenaskan.

Selain diskriminasi melalui tindakan (violence by action), juga ada diskriminasi melalui regulasi (voilence by law). Setidaknya kini terdapat 37 Peraturan Daerah (Perda) di seluruh Indonesia yang mendiskriminasi kaum waria. Di antaranya adalah Perda Nomor 13 Tahun 2002 di Provinsi Sumatera Selatan, dan Perda Nomor 2 Tahun 2004 di Kota Palembang. Dua Perda ini mendefinisikan waria sebagai bentuk pelacuran.

Perbandingan dengan negara lain?
Hampir semua di negara maju dan demokrasi, nampaknya sama dengan Indonesia. Tak ada regulasi khusus mengatur hak-hak waria. Artinya, waria dianggap sama haknya dengan warga negara lain. Kedewasaan sikap masyarakat di negara tersebut, membuat diskriminasi terhadap kaum waria cenderung lebih rendah. Kecuali satu hal, mengenai pengakuan hukum perkawinan sejenis. Yang satu ini masih pro-kontra. Sedikitnya tercatat baru ada empat negara di dunia yang mengakui perkawinan sejenis. Nampaknya perlu dialektika sejarah yang panjang untuk mengakhiri pro-kontra tersebut.

Waria menjadi calon anggota Komnas HAM. Bisakah?
Syarat menjadi calon anggota Komnas HAM diatur dalam pasal 84 UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM. Pasal ini tidak secara eksplisit menjelaskan boleh atau tidaknya seorang waria menjadi anggota Komnas HAM. Jadi, sah-sah saja bila ada waria, seperti Nancy dan Yulianus, mencalonkan diri. Terlebih kedua orang ini memiliki kredit poin penting memenuhi kompetensi calon anggota Komnas HAM sebagaimana dimaksud hurup (a) pasal 84. Yaitu “memiliki pengalaman dalam upaya memajukan dan melindungi orang atau kelompok yang dilanggar hak asasi manusianya.”

Di atas kertas (hukum), saya tak melihat ada hadangan berarti yang dapat mengganjal proses pencalonan Nancy dan Yulianus. Kecuali satu hal yang tak dapat dihindari. Diskriminasi terjadi tak hanya di level perlakuan dan hukum, tetapi juga terjadi di alam pikiran. Ini yang membuat subyektifitas otoritas menjadi faktor penentu. Dengan kata lain, lolosnya Nancy dan Yulianus menjadi anggota Komnas HAM tergantung pada citra waria yang terekam di mata tim penyeleksi dan para politisi parlemen. Ini jelas problem.

Perlukah Regulasi khusus bagi kaum Waria?
Rasanya belum saatnya membuat regulasi khusus bagi kaum waria. Regulasi khusus sama saja mendiskriminasi waria itu sendiri. Terpenting kini adalah bagaimana regulasi yang ada dan yang akan ada itu tidak mendiskriminasi kaum waria. Bentuk kongkritnya adalah adanya sanksi hukum yang ketat bagi siapa saja yang memperlakukan hak-hak semua lapisan warga negara secara diskriminatif. Di dalamnya termasuk kelompok waria. Karena di luar waria, juga terdapat kelompok perempuan, penyandang cacat, ras dan etnis yang seringkali rentan mendapat perlakuan diskriminatif dan pelecehan. Regulasi-regulasi yang bertentangan dengan konstitusi juga harus dihapus.
Selain itu, affimative action juga penting. Misalnya saja membuat semacam piagam bersama antara pelaku dunia usaha, pemerintah dan kaum waria, yang isinya memprioritaskan dimensi profesionalitas dan proporsional untuk menghormati eksistensi kaum waria di dunia kerja sektor formal.

Keberadaan waria di tengah-tengah masyarakat kita adalah sebuah fakta yang sudah saatnya bagi kita untuk belajar menerimanya sebagai realitas. Soal norma agama, biarlah itu menjadi domain domestik antara individu dengan Tuhan. Pekerjaan rumah kita adalah bagaimana agar realitas itu tak menjadi problem sosial di masyarakat.

Written by: Irfan F. el Kindy

27 September, 2008

Negara, Demokrasi dan HAM

I. PENDAHULUAN
Mewujudkan keadilan dan kemakmuran masyarakat tidak akan pernah tercapai tanpa adanya kekuasaan yang memiliki kemampuan untuk mengendalikan masyarakat. Karena hanya kekuasaan seperti itu yang mampu untuk mewujudkan keadilan dan kemakmuran dalam masyarakat.

Kekuasaan seperti ini dikenal dengan “negara.” Sementara dalam praktik, kekuasaan negara justru digunakan tidak untuk mendistribusikan keadilan. Sebaliknya kekuasaan negara menjadi sumber malapetaka problem kemanusiaan. Ketidakadilan, penindasan, pengangguran, kelaparan, perang dan berbagai problem lainnya, terjadi karena ulah negara.

Selengkapnya, download pdf.