29 September, 2008

Tentang Diskriminasi Waria

Tulisan ini dimuat di Tabloid Realita Edisi 19 Februari-04 Maret 2007.

Majunya dua orang waria, Nancy Iskandar (Ketua Forum Waria se DKI Jakarta) dan Yulianus Rettoblaut (Ketua Forum Waria se-Indonesia), dalam bursa pencalonan anggota komisioner Komnas HAM), sudah sepatutnya kita apresiasi.

Sebab, pencalonan dua waria ini adalah wujud perjuangan sekelompok manusia mendapatkan hak atas keadilan. Selama ini, masyarakat dan institusi sosial, seringkali memperlakukan kaum waria secara diskriminatif dan tidak manusiawi. Padahal konstitusi kita telah memberikan perlindungan. Sementara negara, terkesan masa bodoh (violence by ommision). Bahkan belakangan, negara juga turut serta mendiskriminasi melalui regulasi.


Bagaimana status hak-hak waria di dalam hukum positif Indonesia?
Hukum positif kita (konstitusi dan regulasi) memang tak secara spesifik mengatur tentang hak-hak waria. Meski begitu, tak berarti bahwa keberadaan waria tak mendapatkan perlindungan hukum. Sebaliknya dengan tidak diatur, menandakan bahwa di mata hukum, hak dan kewajiban waria adalah sederajat dengan warga negara lainnya. Jadi, tak ada alasan hukum untuk mendiskriminasi waria dalam mendapatkan hak-haknya sebagai warga negara. Waria adalah juga warga negara yang memiliki hak konstitusional.

Dalam UUD 45, konstitusi kita, terdapat beberapa hak warga negara terkait dengan hak asasi manusia. Yaitu pertama, pasal 28D ayat (1) UUD 45 amandemen kedua: “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Kedua, pasal 28D ayat (2) UUD 45 amandemen kedua: “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.” Ketiga, Pasal 28D ayat (3) UUD 45 amandemen kedua: “Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.”

Ketiga hak di atas, adalah salah satu hak warga negara yang mestinya juga dapat dinikmati oleh kaum waria. Namun dalam praktik, umumnya hak itu masih menjadi ‘barang mahal’, alias tak dapat dijamah oleh kaum waria.

Misalnya, kaum waria kerap menjadi korban praktik kekerasan dan pelecehan dalam operasi yang dilakukan aparat Tramtib. Pelecehan dan pengucilan juga dilakukan oleh masyarakat, akibat stigma yang sudah kuat melekat di benak masyarakat. Juga kaum waria seringkali didiskriminasi dalam mengakses lapangan kerja di sektor formal. Baik swasta, maupun pemerintahan (pegawai negeri). Alasan ke-waria-an menjadi alasan utama pelaku usaha menyisihkan kaum waria dari dunia kerja sektor formal. Padahal sebenarnya waria juga sama. Mereka bekerja dengan otak dan tenaganya, dan bukan dengan (maaf) kelaminnya.

Seorang waria yang pernah saya jumpai bercerita. Dirinya pernah mengikuti seleksi sebuah lowongan kerja di bidang administrasi pada sebuah kantor perusahaan swasta. Karena skillnya, seluruh tahapan tes mampu ia lewati dengan baik, sehingga membawanya pada tahap akhir. Tapi nihil nan mengenaskan. Ia tak lolos rekrutmen. Lantaran si penyeleksi mengatakan, “skill kamu sebenarnya sangat bagus, tapi sayang kamu bencong!”. Sungguh ini fakta amat mengenaskan.

Selain diskriminasi melalui tindakan (violence by action), juga ada diskriminasi melalui regulasi (voilence by law). Setidaknya kini terdapat 37 Peraturan Daerah (Perda) di seluruh Indonesia yang mendiskriminasi kaum waria. Di antaranya adalah Perda Nomor 13 Tahun 2002 di Provinsi Sumatera Selatan, dan Perda Nomor 2 Tahun 2004 di Kota Palembang. Dua Perda ini mendefinisikan waria sebagai bentuk pelacuran.

Perbandingan dengan negara lain?
Hampir semua di negara maju dan demokrasi, nampaknya sama dengan Indonesia. Tak ada regulasi khusus mengatur hak-hak waria. Artinya, waria dianggap sama haknya dengan warga negara lain. Kedewasaan sikap masyarakat di negara tersebut, membuat diskriminasi terhadap kaum waria cenderung lebih rendah. Kecuali satu hal, mengenai pengakuan hukum perkawinan sejenis. Yang satu ini masih pro-kontra. Sedikitnya tercatat baru ada empat negara di dunia yang mengakui perkawinan sejenis. Nampaknya perlu dialektika sejarah yang panjang untuk mengakhiri pro-kontra tersebut.

Waria menjadi calon anggota Komnas HAM. Bisakah?
Syarat menjadi calon anggota Komnas HAM diatur dalam pasal 84 UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM. Pasal ini tidak secara eksplisit menjelaskan boleh atau tidaknya seorang waria menjadi anggota Komnas HAM. Jadi, sah-sah saja bila ada waria, seperti Nancy dan Yulianus, mencalonkan diri. Terlebih kedua orang ini memiliki kredit poin penting memenuhi kompetensi calon anggota Komnas HAM sebagaimana dimaksud hurup (a) pasal 84. Yaitu “memiliki pengalaman dalam upaya memajukan dan melindungi orang atau kelompok yang dilanggar hak asasi manusianya.”

Di atas kertas (hukum), saya tak melihat ada hadangan berarti yang dapat mengganjal proses pencalonan Nancy dan Yulianus. Kecuali satu hal yang tak dapat dihindari. Diskriminasi terjadi tak hanya di level perlakuan dan hukum, tetapi juga terjadi di alam pikiran. Ini yang membuat subyektifitas otoritas menjadi faktor penentu. Dengan kata lain, lolosnya Nancy dan Yulianus menjadi anggota Komnas HAM tergantung pada citra waria yang terekam di mata tim penyeleksi dan para politisi parlemen. Ini jelas problem.

Perlukah Regulasi khusus bagi kaum Waria?
Rasanya belum saatnya membuat regulasi khusus bagi kaum waria. Regulasi khusus sama saja mendiskriminasi waria itu sendiri. Terpenting kini adalah bagaimana regulasi yang ada dan yang akan ada itu tidak mendiskriminasi kaum waria. Bentuk kongkritnya adalah adanya sanksi hukum yang ketat bagi siapa saja yang memperlakukan hak-hak semua lapisan warga negara secara diskriminatif. Di dalamnya termasuk kelompok waria. Karena di luar waria, juga terdapat kelompok perempuan, penyandang cacat, ras dan etnis yang seringkali rentan mendapat perlakuan diskriminatif dan pelecehan. Regulasi-regulasi yang bertentangan dengan konstitusi juga harus dihapus.
Selain itu, affimative action juga penting. Misalnya saja membuat semacam piagam bersama antara pelaku dunia usaha, pemerintah dan kaum waria, yang isinya memprioritaskan dimensi profesionalitas dan proporsional untuk menghormati eksistensi kaum waria di dunia kerja sektor formal.

Keberadaan waria di tengah-tengah masyarakat kita adalah sebuah fakta yang sudah saatnya bagi kita untuk belajar menerimanya sebagai realitas. Soal norma agama, biarlah itu menjadi domain domestik antara individu dengan Tuhan. Pekerjaan rumah kita adalah bagaimana agar realitas itu tak menjadi problem sosial di masyarakat.

Written by: Irfan F. el Kindy

Comments :

0 komentar to “Tentang Diskriminasi Waria”