27 Oktober, 2008

Kala Saksi Berkonsultasi dengan PH Terdakwa di Ruang Sidang

Ada yang unik dari sidang siang tadi di PN Jakarta Barat. Ini adalah pengalaman kali pertama saya selama menjadi Advokat dan beracara di dalam sidang perkara pidana. Seorang yang sedang diperiksa sebagai saksi di dalam persidangan perkara pidana, diizinkan oleh Hakim untuk bertanya secara berbisik-bisik kepada penasehat hukum terdakwa.

Buat saya kejadian ini sungguh lucu. Kok bisa hal itu terjadi. Padahal tindakan seperti itu sudah dapat dikategorikan sebagai tindakan mempengaruhi saksi, yang tentunya dapat membuat saksi tidak bisa memberikan keterangannya secara bebas, dan mandiri.

Awal kejadian ini bermula saat seorang perempuan usia 40an tahun diperiksa sebagai saksi dari pihak Penuntut Umum (PU). Saksi ini adalah rekan sekerja terdakwa. Dalam pemeriksaannya, ternyata saksi kebingungan memahami pertanyaan-pertanyaan dari PU yang mengkroscek jawaban saksi di dalam BAP. Karena terdesak kebingungan dengan pertanyaan-pertanyaan PU, saksi minta izin kepada Hakim untuk bertanya kepada tim PH terdakwa. Anehnya Hakim mengizinkan. Dan kemudian secara berbisik-bisik saksi kepada salah seorang PH Terdakwa. Bukan dengan saya, melainkan dengan rekan saya.

Saya memilih untuk tidak terlibat dalam percakapan tersebut. Karena saya khawatir tindakan bercakap-cakap secara berbisik-bisik antara saksi dengan PH terdakwa di hadapan Hakim dalam persidangan merupakan tindakan pelanggaran kode etik advokat.

Pasal 7 hurup e Kode Etik Advokat, yang menyatakan bahwa “Advokat tidak dibenarkan mengajari dan atau mempengaruhi saksi-saksi yang diajukan oleh pihak lawan dalam perkara perdata atau oleh jaksa penuntut umum dalam perkara pidana.”

Meski hakim mengizinkan, namun saya tetap memilih untuk tidak memanfaatkan izin hakim tersebut.

02 Oktober, 2008

Selamat Merayakan Hari Kemenangan

met idul fitri

30 September, 2008

Contoh Surat Kuasa dan Gugatan Cerai di Pengadilan Agama

Awal 2008 lalu, saya membantu mendampingi salah seorang kakaknya teman saya untuk menggugat cerai suaminya ke Pengadilan Agama. Awalnya saya ragu saat dimintai bantuan untuk mendampingi. Karena maklum, saya belum punya jam terbang beracara di Pengadilan Agama. Tetapi karena keinginan kuat untuk terus belajar dan belajar dari banyak pengalaman, akhirnya saya penuhi permintaannya.

Dan akhirnya, gugatan cerai itu pun dikabulkan seluruhnya oleh Hakim Pengadilan Agama. Padahal sewaktu menyusun gugatannya tidaklah mudah. Ada banyak hal yang saya belum kuasai mengenai hukum acara peradilan agama. Alhamdulillah berkat ketekunan, dan ketelitian saya, prosesnya dapat saya lalui dengan mudah.

Kini saya ingin berbagi buat orang lain yang ingin mengajukan gugatan cerai di pengadilan agama. Semoga bermanfaat. Kata guru ngaji saya, ilmu kita tidak akan habis kalau kita membaginya kepada orang lain. Berbagi ilmu itu pasti ada barokahnya. Hehe..

Nah berikut ini adalah contoh Gugatan Cerai dan berikut Surat Kuasa Khususnya.

Silahkan didownload:
  1. Contoh Gugatan Cerai.
  2. Contoh Surat Kuasa Khusus.
Mungkin lain kali, saya akan membahas lebih detil secara teoritis mengenai konstruksi gugatan cerai dan surat kuasa khusus. Karena tentunya contoh gugatan dan surat kuasa ini belum lengkap kalau tidak dijelaskan mengapa harus "begini" dan "begitu" nya. :D

29 September, 2008

Tentang Diskriminasi Waria

Tulisan ini dimuat di Tabloid Realita Edisi 19 Februari-04 Maret 2007.

Majunya dua orang waria, Nancy Iskandar (Ketua Forum Waria se DKI Jakarta) dan Yulianus Rettoblaut (Ketua Forum Waria se-Indonesia), dalam bursa pencalonan anggota komisioner Komnas HAM), sudah sepatutnya kita apresiasi.

Sebab, pencalonan dua waria ini adalah wujud perjuangan sekelompok manusia mendapatkan hak atas keadilan. Selama ini, masyarakat dan institusi sosial, seringkali memperlakukan kaum waria secara diskriminatif dan tidak manusiawi. Padahal konstitusi kita telah memberikan perlindungan. Sementara negara, terkesan masa bodoh (violence by ommision). Bahkan belakangan, negara juga turut serta mendiskriminasi melalui regulasi.


Bagaimana status hak-hak waria di dalam hukum positif Indonesia?
Hukum positif kita (konstitusi dan regulasi) memang tak secara spesifik mengatur tentang hak-hak waria. Meski begitu, tak berarti bahwa keberadaan waria tak mendapatkan perlindungan hukum. Sebaliknya dengan tidak diatur, menandakan bahwa di mata hukum, hak dan kewajiban waria adalah sederajat dengan warga negara lainnya. Jadi, tak ada alasan hukum untuk mendiskriminasi waria dalam mendapatkan hak-haknya sebagai warga negara. Waria adalah juga warga negara yang memiliki hak konstitusional.

Dalam UUD 45, konstitusi kita, terdapat beberapa hak warga negara terkait dengan hak asasi manusia. Yaitu pertama, pasal 28D ayat (1) UUD 45 amandemen kedua: “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Kedua, pasal 28D ayat (2) UUD 45 amandemen kedua: “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.” Ketiga, Pasal 28D ayat (3) UUD 45 amandemen kedua: “Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.”

Ketiga hak di atas, adalah salah satu hak warga negara yang mestinya juga dapat dinikmati oleh kaum waria. Namun dalam praktik, umumnya hak itu masih menjadi ‘barang mahal’, alias tak dapat dijamah oleh kaum waria.

Misalnya, kaum waria kerap menjadi korban praktik kekerasan dan pelecehan dalam operasi yang dilakukan aparat Tramtib. Pelecehan dan pengucilan juga dilakukan oleh masyarakat, akibat stigma yang sudah kuat melekat di benak masyarakat. Juga kaum waria seringkali didiskriminasi dalam mengakses lapangan kerja di sektor formal. Baik swasta, maupun pemerintahan (pegawai negeri). Alasan ke-waria-an menjadi alasan utama pelaku usaha menyisihkan kaum waria dari dunia kerja sektor formal. Padahal sebenarnya waria juga sama. Mereka bekerja dengan otak dan tenaganya, dan bukan dengan (maaf) kelaminnya.

Seorang waria yang pernah saya jumpai bercerita. Dirinya pernah mengikuti seleksi sebuah lowongan kerja di bidang administrasi pada sebuah kantor perusahaan swasta. Karena skillnya, seluruh tahapan tes mampu ia lewati dengan baik, sehingga membawanya pada tahap akhir. Tapi nihil nan mengenaskan. Ia tak lolos rekrutmen. Lantaran si penyeleksi mengatakan, “skill kamu sebenarnya sangat bagus, tapi sayang kamu bencong!”. Sungguh ini fakta amat mengenaskan.

Selain diskriminasi melalui tindakan (violence by action), juga ada diskriminasi melalui regulasi (voilence by law). Setidaknya kini terdapat 37 Peraturan Daerah (Perda) di seluruh Indonesia yang mendiskriminasi kaum waria. Di antaranya adalah Perda Nomor 13 Tahun 2002 di Provinsi Sumatera Selatan, dan Perda Nomor 2 Tahun 2004 di Kota Palembang. Dua Perda ini mendefinisikan waria sebagai bentuk pelacuran.

Perbandingan dengan negara lain?
Hampir semua di negara maju dan demokrasi, nampaknya sama dengan Indonesia. Tak ada regulasi khusus mengatur hak-hak waria. Artinya, waria dianggap sama haknya dengan warga negara lain. Kedewasaan sikap masyarakat di negara tersebut, membuat diskriminasi terhadap kaum waria cenderung lebih rendah. Kecuali satu hal, mengenai pengakuan hukum perkawinan sejenis. Yang satu ini masih pro-kontra. Sedikitnya tercatat baru ada empat negara di dunia yang mengakui perkawinan sejenis. Nampaknya perlu dialektika sejarah yang panjang untuk mengakhiri pro-kontra tersebut.

Waria menjadi calon anggota Komnas HAM. Bisakah?
Syarat menjadi calon anggota Komnas HAM diatur dalam pasal 84 UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM. Pasal ini tidak secara eksplisit menjelaskan boleh atau tidaknya seorang waria menjadi anggota Komnas HAM. Jadi, sah-sah saja bila ada waria, seperti Nancy dan Yulianus, mencalonkan diri. Terlebih kedua orang ini memiliki kredit poin penting memenuhi kompetensi calon anggota Komnas HAM sebagaimana dimaksud hurup (a) pasal 84. Yaitu “memiliki pengalaman dalam upaya memajukan dan melindungi orang atau kelompok yang dilanggar hak asasi manusianya.”

Di atas kertas (hukum), saya tak melihat ada hadangan berarti yang dapat mengganjal proses pencalonan Nancy dan Yulianus. Kecuali satu hal yang tak dapat dihindari. Diskriminasi terjadi tak hanya di level perlakuan dan hukum, tetapi juga terjadi di alam pikiran. Ini yang membuat subyektifitas otoritas menjadi faktor penentu. Dengan kata lain, lolosnya Nancy dan Yulianus menjadi anggota Komnas HAM tergantung pada citra waria yang terekam di mata tim penyeleksi dan para politisi parlemen. Ini jelas problem.

Perlukah Regulasi khusus bagi kaum Waria?
Rasanya belum saatnya membuat regulasi khusus bagi kaum waria. Regulasi khusus sama saja mendiskriminasi waria itu sendiri. Terpenting kini adalah bagaimana regulasi yang ada dan yang akan ada itu tidak mendiskriminasi kaum waria. Bentuk kongkritnya adalah adanya sanksi hukum yang ketat bagi siapa saja yang memperlakukan hak-hak semua lapisan warga negara secara diskriminatif. Di dalamnya termasuk kelompok waria. Karena di luar waria, juga terdapat kelompok perempuan, penyandang cacat, ras dan etnis yang seringkali rentan mendapat perlakuan diskriminatif dan pelecehan. Regulasi-regulasi yang bertentangan dengan konstitusi juga harus dihapus.
Selain itu, affimative action juga penting. Misalnya saja membuat semacam piagam bersama antara pelaku dunia usaha, pemerintah dan kaum waria, yang isinya memprioritaskan dimensi profesionalitas dan proporsional untuk menghormati eksistensi kaum waria di dunia kerja sektor formal.

Keberadaan waria di tengah-tengah masyarakat kita adalah sebuah fakta yang sudah saatnya bagi kita untuk belajar menerimanya sebagai realitas. Soal norma agama, biarlah itu menjadi domain domestik antara individu dengan Tuhan. Pekerjaan rumah kita adalah bagaimana agar realitas itu tak menjadi problem sosial di masyarakat.

Written by: Irfan F. el Kindy

27 September, 2008

Negara, Demokrasi dan HAM

I. PENDAHULUAN
Mewujudkan keadilan dan kemakmuran masyarakat tidak akan pernah tercapai tanpa adanya kekuasaan yang memiliki kemampuan untuk mengendalikan masyarakat. Karena hanya kekuasaan seperti itu yang mampu untuk mewujudkan keadilan dan kemakmuran dalam masyarakat.

Kekuasaan seperti ini dikenal dengan “negara.” Sementara dalam praktik, kekuasaan negara justru digunakan tidak untuk mendistribusikan keadilan. Sebaliknya kekuasaan negara menjadi sumber malapetaka problem kemanusiaan. Ketidakadilan, penindasan, pengangguran, kelaparan, perang dan berbagai problem lainnya, terjadi karena ulah negara.

Selengkapnya, download pdf.

PHI: ‘Plug and Play’ Menyelesaikan Sengketa Perburuhan?

Menjelang 1 Mei nanti, kaum pekerja/buruh seluruh dunia tengah bersiap-siap menyambut peringatan Hari Buruh Dunia. Termasuk kaum pekerja/buruh di Indonesia juga tak ketinggalan. Diprediksi, peringatan Hari Buruh (May Day) 1 Mei 2008 nanti tak akan jauh berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Jalan-jalan di seluruh kota Indonesia akan diramaikan oleh aksi buruh besar-besaran untuk menyampaikan tuntutan. Bisa jadi tuntutannya beragam, tapi sama dalam subtansi. Yaitu tuntutan kebijakan pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan dan keadilan yang sampai saat ini masih belum berpihak pada kaum buruh.


Salah satu hal yang bakal menjadi sorotan untuk dipersoalkan oleh para aktivis buruh dalam aksi-aksinya adalah mekanisme penyelesaian hubungan industrial melalui Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). Karena setelah berjalan hampir dua tahun, keberadaan PHI yang diatur dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 (UU PHI) untuk menggantikan Undang-undang No. 22 Tahun 1957, serta dirancang untuk memberikan kemudahan dan memihak kaum pekerja/buruh, nyatanya dipandang belum cukup efektif memberikan kontribusi positif bagi penyelesaian masalah antara kaum pekerja/buruh dengan pengusaha. Sebaliknya, mekanisme PHI justru menjadi ‘mesin pembunuh’ buat para pekerja/buruh yang ingin mencari keadilan. Apa dasarnya?

Setidaknya ada beberapa hal yang menjadi catatan para aktivis perburuhan atas permasalahan di dalam pelaksanaan penyelesaian sengketa di PHI. Di antaranya yaitu;

Pertama, soal tempat mengajukan gugatan. Hal ini diatur dalam pasal 81 UU PHI. Di mana seorang pekerja/buruh dapat mengajukan gugatan perselisihan hubungan industrial di pengadilan yang daerah hukumnya meliputi daerah di mana pekerja/buruh itu bekerja. Sepintas pasal ini seperti memberikan kemudahan bagi pekerja/buruh. Namun praktiknya justru mempersulit.

Ini terjadi pada kasus buruh Great River Indonesia (GRI) pada Maret 2007 lalu. Dari 5.582 orang buruh yang menggugat, hanya 577 orang yang gugatannya dikabulkan oleh PHI DKI Jakarta. Sisanya ditolak dengan alasan Majelis Hakim PHI DKI Jakarta tidak berwenang memeriksa sengketa, karena sisa dari 577 orang lainnya, ternyata tempat domisili kerjanya di luar daerah Jurisdiksi PHI DKI Jakarta. Putusan PHI ini kemudian memicu kemarahan para buruh.

Contoh kasus lain, Amin adalah seorang karyawan yang telah bekerja selama 10 tahun pada Bank A di Jakarta. Memasuki tahun ke 11 ia bekerja, Amin dipindahtugaskan di kantor Cabang Bank A di Medan. Dan pada tahun ke 12, Amin di-PHK secara sepihak. Selama dalam pengurusan PHK-nya, Amin memilih kembali tinggal di Jakarta, dengan alasan biaya hidup di Medan akan lebih mahal, terlebih lagi ia sudah tidak pernah menerima gaji dari perusahaannya. Kemudian ketika mengajukan gugatan di PHI DKI Jakarta, gugatannya dinyatakan ditolak dengan alasan gugatan diajukan tidak sesuai sebagaimana dimaksud dalam pasal 81 UU No. 2 Tahun 2002 di atas. Padahal dahulu surat pengangkatannya Amin sebagai pekerja dikeluarkan oleh pimpinan pusat Bank A yang berdomisili di Jakarta. Sementara apabila Amin mengajukan gugatannya di Medan, maka ia akan menghabiskan biaya yang mahal.

Kedua, lamanya waktu dan besarnya biaya proses perkara. UU PHI secara eksplisit menghendaki asas cepat, adil, murah, dan tepat dalam memeriksa sengketa hubungan industrial. Dan karenanya memberikan secara tegas limitasi lamanya proses sidang pemeriksaan sengketa. Yaitu 50 hari kerja. Dari mulai sidang pertama sampai dengan putusan (pasal 103 UU PHI). Dengan asumsi seminggu 1 kali sidang, maka ada sekitar 7 kali sidang yang harus diikuti oleh para pekerja/buruh. Dan ini belum terhitung biaya datang ke pengadilan pada saat pra (daftar gugatan) dan paska (ambil putusan) sidang.

Namun dalam praktik, nyatanya banyak para pekerja yang tak mampu memiliki cukup biaya untuk menghadiri sidang sebanyak 7 kali tersebut. Terlebih, bahwa PHI berkedudukan di ibukota Provinsi. Dan hal ini sangat membebankan biaya mahal bagi pekerja yang tempat kerjanya di luar ibu kota Provinsi.

Terlebih lagi, pada praktiknya Hakim PHI juga menolak mengabulkan suatu gugatan penggabungan. Yaitu dimana gugatan mengenai perselisihan hak, kepentingan dan PHK digabungkan dalam satu gugatan. Melainkan Hakim PHI meminta gugatan tersebut masing-masing diajukan secara terpisah. Padahal pekerja/buruh jelas tak mungkin memiliki stamina (biaya dan tenaga) yang cukup untuk berperkara dengan mengajukan suatu gugatan secara terpisah dan satu persatu berdasar masing-masing jenis perselisihan.

Ketiga, banyaknya gugatan ditolak. Di luar ketentuan khusus hukum acara (formil) yang diatur di dalam UU PHI, proses pemeriksaan perkara di PHI juga mengadopsi sepenuhnya hukum acara perdata umum. Sehingga teknis tatacara mengajukan dan membuat isi gugatan juga harus tunduk mengikuti ketentuan hukum acara perdata umum. Dengan begitu, para pekerja/buruh harus dibebankan untuk membuat gugatan menurut standar hukum acara perdata. Padahal tak semua pekerja/buruh memiliki bekal pengetahuan hukum yang memadai. Akibatnya banyak gugatan pekerja/buruh yang ditolak atau NO (Niet Onvankelijke Verklaard) oleh Majelis Hakim hanya karena alasan teknis/formil, yakni Surat Kuasa tidak sah, gugatan kabur, error in persona, dan lain-lain.

Mengenai hal ini, UU PHI memang telah memberikan kelonggaran bagi Serikat Pekerja untuk bertindak menjadi kuasa hukum guna mewakili anggotanya untuk bersidang di PHI (pasal 87 UU PHI). Namun tak semua Serikat Pekerja juga memiliki kemampuan teknis beracara di PHI, dan tak semua perusahaan terdapat serikat pekerja. Sementara itu, menggunakan jasa Advokat juga bukan pilihan yang mudah. Terlebih karena ada faktor biaya dan ‘kepercayaan’ yang harus dipertimbangkan.

Akibat banyaknya gugatan yang ditolak, membuat pekerja/buruh harus mengajukan gugatan ulang. Padahal pada gugatan awal, pekerja/buruh sudah mengikuti jalannya persidangan yang lama (50 hari). Dan ketika gugatan ulang diajukan, maka mau tidak mau pekerja/buruh harus menjalani persidangan dari awal (selama 50 hari) lagi. Bayangkan, betapa banyak energi dan biaya yang dikeluarkan oleh pekerja/buruh. Dan fakta yang ironi, terdapat kasus di mana gugatan yang obyek dan subyeknya sama telah ditolak dua kali oleh Hakim PHI.

UU PHI, sebenarnya pula sudah mengantisipasi hal ini. Yaitu dengan memberlakukan pasal 83 ayat 2 UU PHI. Yang mana Hakim berkewajiban memeriksa isi gugatan, dan meminta gugatan disempurnakan apabila ditemukan terdapat kekurangan. Namun praktiknya, pasal ini juga tidak pernah dijalankan. Sehingga jadilah banyak gugatan yang compang-camping kemudian ditolak.

Dan keempat, putusan sela upah proses yang tidak pernah dipenuhi. Pasal 96 UU PHI, memberikan peluang bagi pekerja/buruh untuk memohon putusan sela agar Hakim PHI memerintahkan pengusaha untuk tetap melaksanakan kewajibannya membayar upah pekerja/buruh selama putusan PHI belum ditetapkan. Namun nyatanya, sejak awal PHI berdiri, meski sempat ada beberapa perkara yang dikabulkan permohonan putusan selanya, namun belakangan, justru tak pernah ada lagi permohonan putusan sela yang dikabulkan. Dan akibatnya, tak pernah ada pula sita jaminan yang ditetapkan oleh PHI dalam rangka memaksa pengusaha menjalankan kewajibannya (pasal 96 ayat 3 UU PHI). Sehingga akhirnya, praktis seluruh isi pasal 96 UU PHI, yang isinya seakan-akan memihak para pekerja/buruh, nyatanya hanya menjadi ‘pemanis bibir’ (lips service) belaka yang tak pernah dapat direalisasikan.

Di luar dari catatan-catatan merah di atas tentang kondisi berperkara di PHI, sesungguhnya masih terdapat lagi hal-hal lain yang belum tercatat. Namun semua catatan di atas sekiranya sudah cukup memberikan gambaran awal, bahwa PHI sebagai institusi yang dapat memenuhi harapan para pekerja/buruh mendapatkan keadilan, nyatanya sangat ‘jauh api dari panggang’. Asas cepat, adil, murah, dan tepat, ternyata belum sepenuhnya terlaksana.

Untuk itu, jalan perjuangan kaum pekerja/buruh untuk mendapatkan keadilan memang masih panjang. Terutama untuk mendesakkan suatu produk perundang-undangan yang yang bukan hanya berpihak pada kesejahteraan dan rasa keadilan kaum pekerja/buruh dari segi normatifnya saja, namun juga berpihak pada tataran implementatif. Dan pada moment hari buruh ini, menjadi momentum yang tepat bagi kaum pekerja/buruh untuk merapatkan dan menguatkan barisannya guna mendesak perubahan UU PHI yang masih belum ‘plug and play’ itu. Selamat hari buruh...!

Ditulis oleh Irfan F. el-Kindy, untuk dimuat Tabloid Suara LSM Edisi 8 TAHUN 1 – 10 Mei – 19 Mei 2008

Menjegal Politik di Hulu

Beberapa minggu terakhir ini, untuk kesekian kali publik disuguhkan polemik antara Kejaksaan Agung (Kejagung) dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Sikap Kejagung yang enggan menindaklanjuti hasil laporan penyelidikan Komnas HAM ke tingkat penyidikan dalam kasus Penculikan Aktivis dan Orang Hilang, menjadi muara masalah. Alasannya, harus ada dulu Pengadilan HAM Ad Hoc oleh Keputusan Presiden (Kepres), baru penyidikan bisa berjalan. Pasal 43 Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, menjadi rujukan Kejagung.

Polemik ini menggulirkan pro-kontra di tengah publik. Kalangan aktivis HAM angkat suara. Mengecam sikap Kejagung. Pemerintah tak mau ketinggalan. Juru Bicara Presiden dan Menteri Sekretaris Negara, ikut berkomentar. Nadanya sama. Diplomatis nan merisaukan.

Problem Hukum atau Politik?
Sepintas bila dicermati, terkesan bahwa polemik ini semata-mata ada problem hukum dibalik sikap keengganan Kejagung melakukan penyidikan. Pertanyaannya, benarkah demikian? Apakah justru sebaliknya, ada sarat muatan politik di sana? Juga jangan-jangan, logika hukum sekedar bumper menutupi muatan politiknya? Menjawab pertanyaan ini, terlebih dahulu saya menyoroti beberapa fakta di bawah ini.

Pertama, bukan hanya kasus penculikan aktivis dan orang hilang, tetapi juga kasus Peristiwa Trisakti dan Semanggi I - Semanggi II (TSS), Mei 98, dan Wasior-Wamena, yang nasib penyidikannya juga terancam terhenti secara permanen di bawah meja kerja Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh. Ragam alasan dijadikan tameng. Yaitu adanya rekomendasi DPR (kasus TSS), tidak jelasnya pelaku (Kasus Mei 98), dan berkas yang kurang lengkap (Kasus Wasior-Wamena).

Semua alasan di atas tak dipungkiri lahir karena ada problem hukum. Teks UU No. 26 Tahun 2000 memberikan peluang Jaksa Agung menafsirkannya secara ‘karet’ untuk melegitimasi sikapnya yang tidak progresif. Persoalannya, justru mengapa Jaksa Agung tak menafsirkannya secara ‘karet’ juga untuk tujuan yang progresif?

Toh misalnya dalam kasus TSS, Kejagung tak akan dianggap melanggar undang-undang bilamana penyidikan tetap dilakukan, meski rekomendasi DPR menyatakan kasus TSS bukan pelanggaran HAM berat. Dalam kasus Mei 98, Kejagung tak akan dianggap melanggar undang-undang bilamana tetap melakukan penyidikan guna menemukan pelaku, meski hasil penyelidikan Komnas HAM dinilainya tak jelas menentukan siapa pelaku. Dan dalam kasus Wasior-Wamena, Kejagung juga tak akan dianggap melanggar undang-undang bilamana penyidikan tetap dilakukan sembari melengkapi berkas penyelidikan Komnas HAM yang dinilainya ada kekurang-lengkapan.

Begitu pun kini, kasus penculikan dan orang hilang. Tak melanggar undang-undang pula, bilamana Kejagung tetap melanjutkan penyidikannya, meski Pengadilan HAM Ad Hoc-nya belum terbentuk. Terlebih lagi sudah ada jurisprudensi pada kasus pelanggaran HAM Tim-Tim, di mana penyidikan dapat dilakukan meski Pengadilan HAM Ad Hoc belum terbentuk. Sifat kejahatan yang masih berlangsung dalam kasus ini, semestinya juga menjadi pertimbangan khusus.

Kedua, Jaksa Agung sering ‘lelet’ dan bahkan tak merespon sedikit pun permintaan menerbitkan ‘surat perintah’ upaya paksa dalam penyelidikan. Misalnya, upaya paksa dalam rangka pemeriksaan surat, penggeledahan atau penyitaan, dan pemeriksaan tempat. Selaku penyelidik, Komnas HAM tak punya kewenangan itu, kecuali bila ada ‘surat perintah’ dari Jaksa Agung selaku penyidik.

Ketiga, terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM yang telah diproses di Pengadilan HAM, nampak Jaksa Agung, melalui Jaksa Penuntut Umum-nya (JPU) juga (sepertinya sengaja) tak mampu memaksimalkan proses pembuktiannya. Di antaranya, pembuktian unsur-unsur perbuatan yang dituduhkan kepada para terdakwa teramat lemah. Baik pada surat dakwaan maupun tuntutan.

Begitu pula dengan pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan JPU dalam rangka ‘mengorek’ keterangan terdakwa dan saksi di muka persidangan, saya menilainya tak cukup ‘cerdas.’ Sehingga keterangan-keterangan penting yang signifikan dengan pembuktian, tak keluar dari mulut terdakwa dan saksi. Persidangan kasus pelanggaran HAM Abepura Desember 2000 di Makassar, menjadi fakta telanjang untuk hal ini.

Keempat, Jaksa Agung melalui JPU-nya juga kerap kali melakukan ‘pembonsaian’ unsur-unsur perbuatan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh terdakwa. Sehingga, ketika berkas dilimpahkan ke Pengadilan, unsur-unsur perbuatan pelanggaran HAM menjadi menyusut. Hal yang sama terjadi pada jumlah pelaku. Jumlah pelaku yang diseret ke Pengadilan, juga menyusut dibanding yang ditemukan di tingkat penyelidikan.

Dengan uraian di atas, terasa sulit bagi kita untuk tidak menuding bahwa Jaksa Agung tidak punya niat menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM berat. Tidak adanya niat didasari pada ‘miskinnya’ kemauan politik Jaksa Agung. Artinya, ada problem politik di balik suramnya penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM berat.

Empat hal di atas, adalah juga sebagian dari pola setengah hatinya Jaksa Agung menangani kasus-kasus pelanggaran HAM. Bila sebelumnya pola menumpulkan unsur-unsur pembuktian dakwaan di dalam pengadilan menjadi ‘favorit,’ kini pola berubah dengan melakukan ‘penjegalan politik di hulu.’ Dengan begitu, tidak perlu berkeringat lagi mementahkan kasus pelanggaran HAM berat di pengadilan. Tetapi cukup mementahkannya di proses penyidikan.

Cara lain yang berpeluang menjadi skenario ‘pembuntuan’ kasus-kasus HAM di tangan Jaksa Agung, adalah penerbitan surat perintah penghentian penyidikan (SP3). Namun cara ini cenderung akan dihindari. Sebab UU No. 26 Tahun 2000 membuka peluang bagi korban dan keluarganya mempraperadilankan SP3. Ditambah, fenomena ‘perlawanan’ rakyat atas Surat Keterangan Perintah Penghentian Penuntutan (SKP3) pada Kasus Soeharto, akan menjadi pelajaran berharga bagi Jaksa Agung.

Menerka jalan pikiran Jaksa Agung, memilih ‘menjegal politik di hulu,’ bisa jadi dipandang beresiko relatif kecil. Dari pada memilih jalur ‘mengolah’ di pengadilan. Karena dengan menjegal politik di hulu, Jaksa Agung leluasa untuk ‘menyeret-nyeret’ kewenangan DPR dan Presiden, serta menuding kelemahan Komnas HAM menjadi strategi ampuh membentengi polemik yang dibuatnya. Setidaknya, itu akan membuat dirinya merasa bukan satu-satunya instusi yang menjadi sasaran kecaman publik dan para korban pelanggaran HAM.

Mengakhiri Kebuntuan
Apa pun problemnya, buntunya penuntasan kasus pelanggaran HAM berat akan melanggengkan pengabaian hak-hak korban, sekaligus melanggengkan impunitas (kejahatan tanpa hukuman). Negara harus bertanggungjawab atas hal ini. Untuk memecah kebuntuan ini, langkah yang harus dilakukan adalah:

Pertama, Jaksa Agung harus tetap melanjutkan penyidikan empat (4) kasus pelanggaran HAM berat. Upaya cari-cari alasan untuk tidak melanjutkan penyidikan, sebaiknya dihentikan saja. Sebaliknya, meletakkan kasus pelanggaran HAM sebagai ajang menuai prestasi. Di mana prestasi Jaksa Agung saat ini, sesungguhnya justru masih amat jauh tertinggal dibandingkan Jaksa Agung pendahulunya dalam hal penyidikan dan pelimpahan kasus pelanggaran HAM ke Pengadilan HAM. Suka tidak suka, itu yang terjadi. Melanjutkan penyidikan, adalah tanda keberpihakan negara terhadap korban. Begitu sebaliknya.

Kedua, Presiden Soesilo Bambang Yudoyono harus turun tangan mengintervensi dengan membuat kebijakan yang dapat memastikan penyidikan kasus pelanggaran HAM dapat dilanjutkan dan dituntaskan hingga ke Pengadilan. Kalau perlu, tak usah ragu me-resuffle Jaksa Agung yang tak memiliki kepekaan terhadap rasa keadilan korban pelanggaran HAM ini.

Ketiga, wacana dan aksi membawa kasus pelanggaran HAM di Indonesia ke level internasional adalah alternatif terakhir menjawab kebuntuan ini. Sayang, masih banyak di bangsa ini yang faham nasionalismenya sempit dan picik. Menganggap keterlibatan internasional dalam kasus HAM adalah bentuk intervensi negara asing. Padahal tragedi Tsunami Aceh, bahkan kini kecelakaan pesawat Adam Air, juga ada intervensi asing di sana. Kenapa juga tidak dipersoalkan. Toh, dengan kasus pelanggaran HAM berat sama-sama sebuah tragedi kemanusiaan. Hanya faktor penyebab saja yang membedakan.

Kini kita tunggu saja, ‘jurus silat’ apa lagi yang akan dimainkan Jaksa Agung untuk memblunderkan kasus-kasus pelanggaran HAM.

Matraman, Juni 2007

Ditulis oleh Irfan F. el-Kindy.

Penggusuran di Pedongkelan

Kasus penggusuran di Pedongkelan memperlihatkan bahwa kebijakan negara masih belum berpihak pada rakyat kecil. Sebaliknya, berpihak pada kepentingan modal. Kondisi ini semakin memperjelas tentang kondisi hukum kita yang mencitrakan politik pasar. Di mana pemenuhan keadilan hukum warga negara disandarkan pada daya beli. Semakin rendah ekonomi masyakat, maka semakin keadilan hukum jauh untuk dinikmati. Ini terjadi pada fenomena kasus Pedongkelan dan banyak kasus-kasus lainnya yang serupa.

Membaca berita kasus penggusuran Pedongkelan, pada harian Kompas tanggal 23 Januari 2007, dengan judul Mimpi Buruk Setelah 28 Tahun, saya mencatat, bahwa posisi hukum warga gusuran di Pedongkelan sepertinya amat lemah secara hukum. Meski 28 tahun warga menempati lokasi, namun tak memiliki kekuatan hukum berupa sertifikat, atau apapun yang dapat membuktikan hak kepemilikan tanah yang ditempatinya. Hal ini disadari sendiri oleh Subur dari wadah perhimpunan warga dan pedagang, Paguyuban Padi Setra.


Meski posisi hukum warga Pedongkelan atas tanah lemah, namun hak-hak atas keadilannya tak bisa dirampas begitu saja oleh aparat negara (Satuan Tramtib). Karena hukum tanah kita mengenal azas pemisahan horisontal. Artinya, antara kepemilikan dan penguasaan, satu sama lain saling berdiri sendiri, dan tidak saling terkait.

Misalnya, si A bisa saja berstatus pemilik atas sebidang tanah. Namun fakta di lapangan, ternyata si A tidak menguasai tanah tersebut, melainkan si B lah yang menguasainya. Di atas tanah tersebut, si B mendirikan bangunan. Bila terjadi sengketa, si A tidak bisa mengklaim bangunan yang didirikan oleh si B adalah sebagai miliknya juga, di luar klaim kepemilikan tanah. Artinya, bahwa hak kepemilikan B atas bangunan yang didirikannya sendiri, diakui oleh hukum. Jadi, bila terjadi penggusuran, si A harus memberikan ganti rugi yang layak atas bangunan milik si B, meski di bangun di atas tanah si A.

Posisi ini yang mestinya diberlakukan kepada kasus penggusuran di Pedongkelan. Namun sayangnya, pemerintah kota Jakarta Timur tak memberikan ganti rugi layak atas bangunan-bangunan yang dimiliki warga. Bahkan barang-barang milik warga juga ikut dirusak pada saat eksekusi penggusuran berlangsung.

Persoalan menjadi pelik, manakala puluhan tahun lokasi yang ditinggali warga ternyata telah menjadi tumpuan ekonomi keluarga. Sehingga tergusurnya warga dari lokasi tersebut, berdampak pada hilangnya sumber-sumber mata pencaharian. Artinya, penggusuran tersebut berpotensi besar melahirkan kemiskinan, pengangguran, putus sekolah, dan hilangnya tempat tinggal yang layak. Bila dampak nyata ini terjadi, sudah pasti negara gagal memenuhi hak-hak ekonomi sosal budaya (ekosob) warga negara yang telah dilindungi dalam konstitusi UUD 45, dan UU Nomor 11 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi Sosial Budaya.

Dalam kasus ini, kesalahan tak bisa dituding kepada warga. Negara lah, dalam hal ini Pemkot DKI Jakarta Utara yang patut disalahkan karena lalai menelantarkan tanah-tanah negara. Sehingga masyarakat akhirnya berimprovisasi memanfaatkan lahan kosong untuk penghidupan ekonomi keluarga. Kelalaian ini harus dibayar oleh pemerintah dengan cara, bukan hanya penghormatan terhadap hak-hak kepemilikan bangunan warga, tetapi juga penghormatan hak-hak ekosob warga. Yaitu di antaranya, memberikan kompensasi berupa relokasi tempat layak yang nilai ekonominya tak kurang dari tempat sebelumnya.

Apa yang bisa dilakukan warga secara hukum?
Pertama, menggugat secara perdata di pengadilan negeri atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan walikota Jakarta Timur, atas perbuatannya yang telah merugikan warga dengan melakukan pembongkaran paksa tanpa ada ganti rugi bangunan. Ditambah tuntutan ganti rugi atas kerusakan barang-barang yang ikut dirusak pada saat eksekusi.

Selain itu, tuntutan atas relokasi tempat yang nilai ekonominya tak kurang dari tempat asal, juga bisa menjadi poin tambahan petitum (permohonan) dalam gugatan tersebut. Dasarnya, salah satunya seperti disebutkan di atas, yaitu ada perlindungan hak-hak Ekosob di dalam konstitusi Indonesia dan UU No. 11/2005.

Kedua, sudah tentu ada surat perintah bongkar yang biasanya dikeluarkan oleh pejabat terkait yang menjadi dasar tindakan penggusuran. Dalam hal ini, misalnya Wali Kota Jakarta Utara. Surat perintah bongkar tersebut dapat dikategorikan sebagai obyek keputusan tata usaha negara. Apabila warga menemukan pelanggaran terhadap asas-asas pemerintah yang baik (good governance) dalam penerbitan surat tersebut, maka surat perintah bongkar dapat digugat oleh warga di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Tuntutannya, berupa pembatalan surat. Apabila gugatan dikabulkan, dampaknya adalah kekuatan hukum atas tindakan penggusuran aparat Tramtib menjadi lenyap, dan otomatis illegal.

Ketiga, mengenai mekanisme gugatan, ada ragam pilihan yang bisa digunakan. Tergantung pertimbangan efektifitas. Apabila antar warga mudah untuk saling bertemu, maka setiap individu warga bisa maju secara bersama-sama mendaftarkan gugatannya di muka pengadilan. Sebaliknya apabila sulit, misalnya karena posisi domisili warga yang sudah tercerai berai akibat penggusuran, maka pola gugatan perwakilan kelompok (class action) sebagaimana diatur Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2002, dapat juga digunakan.

Pilihan menggunakan class action, cenderung lebih mudah buat warga, untuk efektifitas dan efisien ketimbang pola gugatan konvensional.

Kita semua tentu berharap. Pemerintah tidak hanya mengedepankan aspek legalistik formal dalam melaksanakan program pembangunan. Tetapi juga mempertimbangkan aspek keadilan ekonomi sosial budaya masyarakat. Sehingga pembangunan yang dilakukan dapat dicicipi oleh semua kalangan, dan tidak mengorbankan masyarakat kelas bawah.

Matraman, 29 Januari 2007.

Ditulis oleh Irfan F. el-Kindy untuk Tabloid Realita Edisi Januari 2007

26 September, 2008

Welcome..!

Ini adalah bukan blog yang pertama saya buat dan saya kelola sendiri. Sebelumnya, secarasilent saya telah memiliki blog pada web blogger.com. Namun ada yang berbeda. Pada blog ini, saya ingin menampilkannya tidak lagi secara silent, melainkan secara resmi sebagai blog pribadi saya.

Pada blog ini, saya ingin menampilkan content yang lebih serius dan ilmiah, terutama mengenai seputar dunia hukum yang saat ini tengah saya geluti sebagai seorang advokat. Nampaknya saya amat berminat untuk meramaikan fenomena blawg (Law Blog) di dunia maya. Saya melihat, keberadaan blawg cukup memperkaya informasi seputar dunia hukum, di luar dari situs-situs resmi.

So, selamat datang di dunia blawg. Selamat berkarya…!